Seni dalam Islam muncul seiring dengan diutusnya Rasulullah SAW. Hal ini bisa kita jumpai dalam hadits nabawi yang diriwayatkan bahwa Abu Bakar pernah masuk ke rumah Aisyah untuk menemui Nabi SAW. Ketika itu ada dua gadis disisi Aisyah yang sedang bernyanyi, lalu Abu Bakar menghardiknya seraya berkata: “Apakah pantas ada seruling syetan dirumah Rosulullah?” kemudian Rosulullah SAW. Menimpali : biarkanlah mereka wahai Abu Bakar, sesungguhnya hari ini adalah hari raya”. Dimasa generasi tabi’in, teori musik juga dikenal dikalangan kaum muslimin mereka mempelajari buku-buku musik yang diterjemahkan dari bahasa Yunani dan Hindia. Diantara para ahli musik yang muncul dikala itu adalah Ibnu Misyah (wafat tahun 705 M), Yusuf bin Sulaiman al-Khotib (wafat tahun 785 M), Kkhalil bin Ahmad yang telah mengarang buku teori musik mengenai not dan irama. Perhatian cukup besar terhadap seni musik diberikan dimasa akhir Daulah Umayyah, kemudian juga dimasa Daulah Abbasiah. Salah satu pendorong didirikannya sekolah musik dimasa kekuasaan daulah Abbasiah karena keahlian seni musik dan menyanyi merupakan salah satu syarat bagi pelayan (budak), pengasuh, dayang-dayang di Istana dan di Rumah-rumah para pejabat. Meskipun seni telah dikenal sejak awal kemunculan Islam, namun perdebatan mengenai batasan-batasan yang membolehkan maupun tidak membolehkan hingga saat ini masih terus tumbuh berkembang, seiring dengan beragamnya alat musik yang diproduksi. Bahkan, pembahasan mengenai hukum memperdagangkan alat-alat musik masih terus menjadi diskusi yang cukup menarik, termasuk mengenai batasan-batasan yang diperbolehkan secara syar’i dalam mengekspresikan seni. Pada kerajaan Islam, kesenian itu dengan segala macam ragamnya dapat berkembang seluas-luasnya, bahkan khalifah atau raja-raja Islam itulah pendorong utama dalam mendirikan masjid, bangunan-bangunan hasil kesenian lainnya yang bernafaskan rasa keagamaan dan ketuhanan. Pemecahan masalah fiqih dengan segala macam masalah khilafiahnya, telah menghisap kering sebagian besar persediaan energi ulama-ulama dan pemimpin-pemimpin Islam Indonesia. Oleh sebab itu walaupun berabad-abad lamanya suara adzan berkumandang di angkasa Indonesia, namun soal kesenian belum mendapat tempat sewajarnya, bahkan terkadang merupakan soal yang masih asing bagi kaum muslimin.

Senin, 06 Februari 2012

kesenian dalam pandangan ulama

                                        Mohon untuk meninggalkan jejak digital nya ya :)

1. Seni musik: Jumhur ulama sepakat bahwa bentuk seni musik (nyanyian) yang memalingkan dari dzikrullah hukumnya haram, namun kemudian berbeda pandangan mengenai seni musik yang tidak memalingkan dari dzikrullah. Pendapat pertama yang menyatakan bahwa nyanyian dan seni musik merupakan seruling syaitan yang dilarang. Imam An-Nawawi dalam kitabnya Al-Umdah berkata: "Telah diriwayatkan tentang halalnya nyanyian dan mendengarkannya dari sekelompok sahabat dan tabi'in, di antaranya adalah Imam yang empat, Ibnu "Uyainah, dan jumhur Syafi'yah." Ini mengenai nyanyian vokal tanpa instrumen musik. Adapun nyanyian yang disertai dengan alat musik maka ulama yang menghalalkannya mengatakan bahwa semua Hadits yang membahas masalah ini nilainya tidak sampai ke tingkat shahih maupun hasan. Inilah yang dikatakan oleh Al-Qadhi Abu Bakar Ibn-ul- Arabi. 2. Seni Pahat, Seni Patung, Seni Lukis: Para ulama berpendapat bahwa tingkat pengharaman itu semakin bertambah manakala patung tersebut berbentuk orang yang diagungkan seperti Al-Masih. Sedang boneka untuk mainan anak-anak diperbolehkan. Adapun mengenai filosofis ulama mesir al-Allammah Syaikhk Muhammad Baqith al-Muthi’i berpendapat bahwa fotografi itu hukumnya mubah, karena aktivitas fotogrfi tidak termasuk dalam aktivitas mencipta sebagaimana yang disinyalir dalam ungkapan hadist…”(mencipta seperti ciptaanKu….), karena foto itu hanya menahan bayangan. Pendapat lain banyak disetujui oleh banyak ulama termasuk Syaikh Yusuf Qardhawi, dengan catatan foto wanita telanjang diharamkan.1 3. Seni Tari: Seni tari sudah dikenal dimasa Rasulullah, seperti tarian Habasyah yang dipertunjukkan oleh orang-orang Habasyah (Ethiopa sekarang) ketika mereka menari meluapkan kegembiraan menyambut kedatangan Rasulullah di kota madinah, bahkan suatu sat Rasulullah pernah mengizinkan Aisyah untuk menonton pertunjukan tarian Habasyah yang sangat sederhana dengan menjinjitkan kaki. Dalam sejarah Islam terdapat perbedaan pendapat antara yang pro dengan yang kontra tentang seni tari. Seni tari pada permulaan Islam berbentuk sederhana dan hanya dilakukan oleh orang-orang yang datang dari luar jazīrah ‘Arab, seperti orang-orang Sudan, Ethiopia, dan lain-lain. Menari biasa dilakukan pada hari-hari gembira, seperti hari raya dan hari-hari gembira lainnya. Salah satu contoh tentang hal ini adalah seperti yang diriwayatkan oleh Abū Dāwūd dari ‘Anas r.a. yang berkata “ Tatkala Rasūlullāh datang ke Madīnah, orang-orang Habsyah (Ethiopia sekarang) menari dengan gembira menyambut kedatangan beliau sambil memainkan senjata mereka”.2 Dahulu, pada jaman khilafah Abbasiyah, seni tari telah mendapatkan tempat yang istimewa di tengah masyarakat, baik di kalangan istana, gedung-gedung khusus (rumah pejabat dan hartawan), maupun di tempat-tempat hiburan lainnya (taman ria dan sebagainya). Pada akhir masa khilafah Abbasiyah, kesenian tari mulai mundur ketika tentara bangsa Mongol menguasai pusat peradaban Islam di Baghdad. Semua hasil karya seni dirusak oleh tentara keji itu karena memang bangsa ini tidak menyukai tarian. Kemudian pada masa khilafah Utsmaniah berikutnya, seni tari berkembang lebih pesat lagi, khususnya tarian sufi yang biasa dilakukan oleh kaum pria saja. Sedangkan penari wanita menarikan tarian di istana dan rumah-rumah para pejabat. Mereka ini adalah penari "berkaliber tinggi". Namun perlu diperhatikan di sini, dalam sejarah umat Islam yang panjang, tari-tarian itu tidak pernah dilakukan di tempat-tempat terbuka yang penontonnya bercampur-baur antara lelaki dengan wanita. Ini berbeda halnya dengan nyanyian. Pada masa pemerintahan khilafah Abbasiyah, para penyanyi diijinkan menyanyi menyanyi sambil menari di jalanan atau di atas jembatan serta di tempat-tempat umum lainnya. Rumah-rumah les privat menyanyi dan menari dibuka untuk umum, baik di rumah-rumah orang kaya maupun miskin.3 Tetapi tidak pernah dilakukan di tempat-tempat khusus, seperti yang dilakukan sekarang ini (khususnya anak-anak muda), misalnya di night club, panggung pertunjukan, dan sebagainya. Perlu diingat, tari-tarian pada masa lalu hanya dilakukan oleh wanita-wanita budak saja yang bekerja di istana, di rumah para pejabat, atau di rumah-rumah rakyat biasa. Namun ada juga penari dari kalangan pria, misalnya Ibrahim Al-Maushili (wafat 235 H), dan sekelompok penari kawakan yang tercatat di dalam kitab Al-Aghani.4 Sebagaimana kami sebutkan di atas, tari-tarian dimasa permulaan Islam tidak pernah dilakukan dalam keadaan kaum lelaki menari bercampur dengan kaum wanita, kecuali sesudah kebudayaan Barat mulai mewarnai dan mempengaruhi kebudayaan Islam. Sesudah itu baru muncul kebiasaan menari dengan mengikuti para penari Barat dengan gaya merangsang syahwat dan membangkitkan birahi, seperti tari balet, dansa, joget, dangdut, atau tarian yang menimbulkan histeria seperti disko dan break dance. Pengarang kitab ilmu seni tari yang pertama di dalam Islam adalah Al-Farabi (wafat tahun 950 M), yang mengarang Kitab Ar-Raqsu Waz-Zafnu (Kitab tentang Tari dan Gerak Kaki).5 Namun di kalangan ulama persoalan seni tari ini masih menjadi perdebatan antara yang membolehkan dengan syarat sesuai dengan adab-adab Islam, ataupun yang sama sekali tidak membolehkan. Hal ini berdasarkan fenomena yang ada di masyarakat bahwa seni tari yang dikenal saat ini cenderung mengarah kepada tindakan tabarruj (memamerkan diri di kalangan yang bukan mahrom), maupun ikhthilath (campur baur laki-laki dan wanita dalam satu majelis tanpa mengindahkan adab-adab Islam). 4. Seni Penulisan (Sastra) Manakala seni penulisan telah dikaitkan dengan seni kesusatetraan. Seni kesusasteraan memang mendapat sambutan yang sangat hangat di kalangan umat Islam dan itu terjadi karena kesusateraan Islam bersumberkan Al-Quran dan al-Sunnah yang mana kesusasteraan Al-Quran dapat dilihat dari dua aspek yaitu keindahan bahasa dan dari segi isinya. Di sini dapat dilihat bahwa hasil atau sumbangan kesusateraan yang berteraskan al-Quran dan al-Sunnah telah menyebabkan kaum musyrikin memeluk agama Islam hanya apabila mendengar al-Quran. Contohnya al-Walid al-Mughirah yang merupakan penyair yang terkenal pada zaman Jahiliyyah dan pengkritik yang paling tajam terhadap Rasulallah saw, Umar al-Khattab serta Labid, Rabiah dan Jubair bin Mat'am. Al-Quran telah berjaya melumpuhkan keangkuhan dan kejaguhan sastrawan Arab dari segi keindahan bahasa kesusteraan dan yang lebih menakjubkan lagi ianya bukan saja menggetarkan jiwa mereka yang memahami bahasa arab malah melintasi batas pribadi, bahasa, keturunan, kebudayaan, geografi, pangkat dan sebagainya. Kesussastraan Islam mula disebarkan oleh Rasulallah s.a.w dan terus berkembang pada zaman khalifah-khalifah al-Rashidin, Umaiyah dan Abbasiyyah. Selain al-Quran, karya kesusteraan Islam juga meliputi Syair, Rubai', Burdah, Prosa dan sebagainya. 1. Lihat Abu Bakar Ibn-ul- Arabi, Ahkam-ul-Quran, Jilid III, hlm. 1053-1054. 2. Lihat Sunan Abu Dawud, Jilid IV, hlm. 281): 3. Lihat Abu Al-Faraj Al-Ishfahani, Al-Aghani, Jilid XVIII, hlm. 128, dan Jilid XIII, hlm. 127. 4. Lihat Abū Al-Faraj Al-Ishfahani, ibidem, Jilid V (Riwayat hidup Ibrahim Al-Maushili). 5. Lihat A. Hasjmy, Ibidem, hlm. 326.

Silahkan Gunakan Facebook Comment, Jika Anda Tidak Memiliki Url Blog!

Comments for blogger! brought to you by RESOUL THE ART CENTRE , Ingin Tahu Info Kursus Recording dan Rental Studio? KLIK DISINI!?

0 komentar:

Posting Komentar

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Bluehost