Seni dalam Islam muncul seiring dengan diutusnya Rasulullah SAW. Hal ini bisa kita jumpai dalam hadits nabawi yang diriwayatkan bahwa Abu Bakar pernah masuk ke rumah Aisyah untuk menemui Nabi SAW. Ketika itu ada dua gadis disisi Aisyah yang sedang bernyanyi, lalu Abu Bakar menghardiknya seraya berkata: “Apakah pantas ada seruling syetan dirumah Rosulullah?” kemudian Rosulullah SAW. Menimpali : biarkanlah mereka wahai Abu Bakar, sesungguhnya hari ini adalah hari raya”. Dimasa generasi tabi’in, teori musik juga dikenal dikalangan kaum muslimin mereka mempelajari buku-buku musik yang diterjemahkan dari bahasa Yunani dan Hindia. Diantara para ahli musik yang muncul dikala itu adalah Ibnu Misyah (wafat tahun 705 M), Yusuf bin Sulaiman al-Khotib (wafat tahun 785 M), Kkhalil bin Ahmad yang telah mengarang buku teori musik mengenai not dan irama. Perhatian cukup besar terhadap seni musik diberikan dimasa akhir Daulah Umayyah, kemudian juga dimasa Daulah Abbasiah. Salah satu pendorong didirikannya sekolah musik dimasa kekuasaan daulah Abbasiah karena keahlian seni musik dan menyanyi merupakan salah satu syarat bagi pelayan (budak), pengasuh, dayang-dayang di Istana dan di Rumah-rumah para pejabat. Meskipun seni telah dikenal sejak awal kemunculan Islam, namun perdebatan mengenai batasan-batasan yang membolehkan maupun tidak membolehkan hingga saat ini masih terus tumbuh berkembang, seiring dengan beragamnya alat musik yang diproduksi. Bahkan, pembahasan mengenai hukum memperdagangkan alat-alat musik masih terus menjadi diskusi yang cukup menarik, termasuk mengenai batasan-batasan yang diperbolehkan secara syar’i dalam mengekspresikan seni. Pada kerajaan Islam, kesenian itu dengan segala macam ragamnya dapat berkembang seluas-luasnya, bahkan khalifah atau raja-raja Islam itulah pendorong utama dalam mendirikan masjid, bangunan-bangunan hasil kesenian lainnya yang bernafaskan rasa keagamaan dan ketuhanan. Pemecahan masalah fiqih dengan segala macam masalah khilafiahnya, telah menghisap kering sebagian besar persediaan energi ulama-ulama dan pemimpin-pemimpin Islam Indonesia. Oleh sebab itu walaupun berabad-abad lamanya suara adzan berkumandang di angkasa Indonesia, namun soal kesenian belum mendapat tempat sewajarnya, bahkan terkadang merupakan soal yang masih asing bagi kaum muslimin.

Jumat, 02 November 2012

Pandangan Lajnah Bahtsul Masa’il Nu dan Majlis Tarjih Muhammadiyah tentang Kesenian

                                        Mohon untuk meninggalkan jejak digital nya ya :)

1.    Lajnah Bahtsul Masa’il Nu dan Kesenian

Sebelum menganalisis tentang kesenian dalam Bahtsul Masa’il, perlu diketahui secara ringkas arti dari kesenian dan arti dari Bahsul Masa’il tersebut terlebih dahulu. Seni ialah halus, indah dan permai. Sedangkan menurut istilah adalah segala yang halus dan indah lagi menyenangkan hati serta perasaan manusia. Seni secara sederhana dan biasanya ditakrifkan sebagai usaha untuk menciptakan usaha-usaha yang menyenangkan.  Jadi, sesuatu yang membuat manusia merasa senang, nyaman, dan menentramkan hati adalah seni, misalnya lagu atau nyanyian, lukisan yang indah, tarian, dan lain sebagainya. Tetapi dari semua seni itu tidak semuanya baik kalau semuanya itu telah menyimpang dari syari’at Islam. Dan yang menyimpang dari syari’at itu hukumnya haram.
Berkaitan dengan lembaga organisasi, NU memiliki sebuah forum “ Lajnah Bahtsul Masa’il”. Istilah ini berasal dari bahasa Arab بحث المسا ئل  yang secara harfiah berarti pembahasan berbagai masalah-masalah. Sahal Mahfudl menspesifikkan lagi pengertian Bahtsul Masail pada persoalan yang bersifat waqi’yyah, dan pembahasannya melalui maraji’ al-Kutub al-Fuqaha’.  Sehingga dapat diartikan sebagai pembahasan masalah-masalah waqi’yyah melalui referensi kitab-kitab karangan ulama.
Mencermati rumusan diatas dapat ditarik kesimpulan bahwa Bahtsul Masa’il adalah lembaga yang dibentuk oleh NU yang mempunyai tugas membahas berbagai masalah  yang timbul dalam masyrakat dengan merujuk pada Kutub al-Fuqaha’ yaitu berdasarkan salah satu madzhab empat.
Kaitannya mengenai Istinbath hukum dalam NU, Bahtsul Masa’il merupakan satu-satunya perangkat lembaga organisasi NU yang bertanggung jawab menghimpun, membahas dan memecahkan masalah-masalah yang mauquf dan waqiyyah yang harus segera mendapatkan kepastian hukumnya sesuai faham ahlusunnah wal jama’ah. Dalam struktur organisai NU, lajnah Bahsul Masa’il adalah bagian dari sub struktur oraganisasi yang mempunyai hak mengatur, rumah tangganya sendiri. Sehingga lembaga Bahsul Masa’il merupakan salah satu bagian yang tak terpisahkan dari NU.  Forum ini dalam kepengurusan NU berada dibawah koordinasi lembaga syuri’ah yang merupakan pemimpin tertinggi NU yang berfungsi sebagai pengelola, pengendali, pengawas, dan penentu kebijakan jam’iyyah NU.
NU memiliki faham ahlussunah wa al- Jama'ah sebagai basis teologi (dasar beraqidah) dan menganut salah satu dari empat mazhab, Hanafi, Maliki, Hambali, dan Syafi'i sebagai pegangan dalam berfiqih. Dengan mengikuti empat mazhab fiqih tersebut (metode bermadzhab) metode istinbath hukum (manhaj)  menunjukkkan elastisitas dan fleksibilitas bagi NU untuk beralih mazhab secara total atau dalam beberapa hal yang dipandang sebagai kebutuhan.

2.    Analisis Kesenian dalam Lajnah Bahtsul Masa’il NU

Berkaitan dengan Istinbath hukum di kalangan NU tentang kesenian, bisa dilihat dari hasil keputusan forum Bahsul masa’il NU. Bahsul Masa’il adalah forum permusyawaratan para kiai NU untuk memecahkan berbagai masalah-masalah sosial ditinjau dari sudut hukum Islam, Seperti Muktamar, Munas, ataupun Konbes yang digelar PBNU.
Dengan Keputusan Bahtsul Masa’il semacam inilah fatwa resmi PBNU mengenai masalah-masalah sosial ditetapkan. Kendati harus diakui, tak ada sanksi apapun bagi yang tidak mengikutinya. Sebab, masing-masing pesantren memiliki otonomi sendiri bahkan punya otoritas sendiri dalam memilih hasil ijtihad mana yang mesti dipakai. Termasuk dalam hal ini, masalah kehidupan berkesenian.
Seiring perkembangan jaman, untuk mengembalikan harkat seni dalam  kebudayaan sebagai artikulasi pemuliaan manusia dan prosesnya untuk mencapai integritas kemanusiaannya, sebagai arena penegasan dan pengembangan jati diri kebangsaan Indonesia,  NU mengambil sikaptentang kesenian sebagai berikut;
1.    Menolak praktik eksploitasi terhadap kebudayaan oleh kekuatan ekonomi pasar yang memandang para pelaku budaya beserta produknya berada di bawah kepentingan mereka.
2.    Mengembalikan kesenian ke dalam tanggungjawab dan fungsi sosialnya. Dalam hal ini seniman melakukan kerja artistiknya dengan cara melibatkan diri dengan masyarakat, untuk mengungkap, menyampaikan, dan mentransformasikan berbagai persoalan yang terjadi di masyarakat melalui karya seni yang mereka ciptakan dengan melakukan eksplorasi estetika yang seluas dan sekomunikatif mungkin.
3.    Menolak kecenderungan karya seni yang memisahkan diri dari masyarakat dengan berbagai alasan yang dikemukakan, entah berupa keyakinan adanya otonomi yang mutlak dalam dunia seni yang artinya seni terpisah dari masyarakat, maupun universalitas dalam suatu karya seni yang artinya karya seni terbebas dari ikatan relativisme historis suatu masyarakat.
4.    Memperjuangkan kebudayaan (baik sebagai khazanah pengetahuan, nilai, makna, norma, kepercayaan, dan ideologi suatu masyarakat; maupun terlebih sebagai praktik dan tindakan mereka dalam mempertahankan dan mengembangkan harkat kemanusiaannya, lengkap dengan produk material yang  mereka hasilkan) sebagai faktor yang diperhitungkan oleh para pengambil kebijakan negara, sehingga kebudayaan dapat menjadi kekuatan yang menentukan dalam setiap kebijakan yang mereka putuskan.
5.    Membuka ruang kreativitas seluas mungkin bagi para seniman, baik tradisional, modern, maupun kontemporer, yang mengalami kesulitan dalam melakukan kegiatan kesenian yang disebabkan oleh kebijakan politik dan birokrasi negara, dominasi pasar, maupun kekuatan formalisme agama.
6.    Merumuskan dan mengembangkan “fiqh  kebudayaan” yang mampu menjaga, memelihara, menginspirasi dan memberi orientasi bagi pengembangan kreativitas masyarakat pada wilayah kebudayaan dalam rangka pemenuhan kodratnya sebagai khalifah fil ardl dan sekaligus warga masyarakat-bangsanya.
7.    Ke-Indonesia-an adalah tanah air kebudayaan kami. Oleh karena itu, di dalam dinamika kesejarahannya, ia menjadi titik pijak kreatifitas kami, realitasnya yang membentang di hadapan kami, menjadi perhatian dan cermin bagi ekspresi dan karya-karya. Kami ingin tanah air kebudayaan kami menjadi subur oleh tetes-tetes hujan keringat estetik bangsa ini.

Realitas kesenian kita akhir-akhir ini sedang berada pada posisi yang terus mengalami pengasingan ditinjau dari keberadaanya yang kurang diperhitungkan oleh para pengambil kebijakan baik pada wilayah politik, ekonomi, sosial, maupun intelektual. Kesenian juga berada pada kondisi yang terus mengalami pemiskinan ditinjau dari kemerosotan, pendangkalan, dan penyempitan baik definisi, bobot, maupun cakupannya dalam kehidupan secara umum. Krisis keindonesiaan yang sekarang ini mendera bangsa kita, basisnya adalah krisis kebudayaan ini.
Posisi dan kondisi kesenian tersebut tercipta sebagai akibat dari praktik dominasi yang dilakukan oleh tiga kekuatan utama:
1.    Kekuatan kapitalisme pasar yang menilai kebudayaan dari sudut pandang pragmatisme pasar dan melakukan komodifikasi terhadap kebudayaan (baik kebudayaan sebagai khazanah pengetahuan, sistem-nilai, praktik dan tindakan, maupun benda-benda hasil ekspresi budaya), sehingga manusia ditempatkan sebagai objek ekonomi dan bukan subjek daripadanya.
2.    Kekuatan negara yang menempatkan kebudayaan sebagai lebih sebagai alat pendukung kekuasaan (legitimasi politik), dan menempatkannya sebagai benda mati serta menjadikannya sebagai komoditas pariwisata untuk mengumpulkan devisa, yang artinya negara telah menempatkan dirinya sebagai sub-kapitalisme pasar dalam kaitannya dengan kebudayaan dan bukan menempatkan kebudayaan sesuai definisi dan perannya yaitu sebagai kumpulan pengetahuan, makna, nilai, norma, dan praktik serta berbagai materi yang dihasilkannya (atau singkatnya kebudayaan sebagi formula bagaimana suatu masyarakat melangsungkan kehidupannya).
3.    Kekuatan formalisme agama yang menempatkan kebudayaan bukan sebagai energi sosial yang menjadi penopang tumbuh-berkembangnya harkat manusia sebagai khalifah fil ardl, sehingga tidak diperhitungkan secara proporsional dalam pengambilan keputusan hukum oleh para pemegang otoritas keagamaan, dan dalam kadar tertentu mereka justru menempatkan kebudayaan sebagai praktik yang “menyimpang” dari ketentuan hukum yang mereka anut tersebut.
Atas  dasar itu lah, untuk mengembalikan harkat kebudayaan sebagai artikulasi pemuliaan manusia dan prosesnya untuk mencapai integritas kemanusiaannya, sebagai arena penegasan dan pengembangan jati diri kebangsaan Indonesia.
Ada dua peristiwa penting di dalam Nahdlatul Ulama (NU) yang mendorong Lembaga Seniman Budayawan Muslimin Indonesia (Lesbumi) , dihadirkan kembali. Pertama adalah Muktamar NU ke-30 di Lirboyo Jawa Timur (1999) diikuti dengan Muktamar NU ke-31 di Boyolali Jawa Tengah (2004). Kedua adalah Musyawarah Besar (Mubes) Warga NU di Ciwaringin Jawa Barat (2004).
Penegasan NU untuk menghadirkan kembali Lesbumi melalui Muktamar NU ke-30 (1999) dan ke-31 (2004) tidak dimaksudkan untuk ber-nostalgia dengan masa lalu. Butir penting keinginan itu adalah mengajak seluruh anggota NU agar mengembalikan ruh kebudayaan sebagai medium beragama dan bersosial. Apa yang dilakukan NU merupakan bagian dari semangat kembali ke Khittah 1926 yang menggelindingkan trilogi transformasi: sosio-politik, sosio-kultural dan sosio-ekonomi. Fakta historis ini membedakan kehadiran Lesbumi selama hampir satu dasawarsa terakhir dengan kelahiran awalnya pada dekade 1960-an.
Sejalan dengan penegasan itu, Ketua Lesbumi Al-Zastrow mengatakan, keinginan menghadirkan kembali Lesbumi antara lain juga dilandasi oleh keprihatinan akan fenomena kering dan sepinya agama dari sentuhan kebudayaan sehingga yang nampak adalah penampilan agama yang sangar dan beku, tidak memiliki kelenturan-kelenturan. Agama tidak lagi merupakan sesuatu yang hidup dan bahkan tidak lagi memberi kenyamanan bagi pemeluknya.
Atas keprihatinan inilah, maka Lesbumi akan membentuk dewan kebudayaan yang terdiri dari para budayawan, pemikir, intelektual yang memiliki perhatian terhadap masalah kebudayaan Indonesia dan juga seniman dalam segala bentuknya. Lesbumi ingin memberikan peran atau memfasilitasi kesenian yang sifatnya menumbuhkan kreatifitas masyarakat. Program  utamanya adalah, lanjut al-Zastrow, melakukan dokumentasi terhadap kesenian masyarakat, bahkan yang langka dan hampir hilang. Pembentukan Lesbumi secara bertahap akan dilakukan di seluruh Jawa dan Sumatra.
Dalam kesempatan lain, Mubes Warga NU (2004) pun mencatat adanya proses alienasi kesenian rakyat dari komunitasnya. Hal ini disebabkan oleh fenomena komersialisasi dan komodifikasi kesenian yang diciptakan oleh pasar. Ditambahkan pula, tidak adanya lembaga yang serius menangani kesenian dan kebudayaan rakyat sehingga mereka selalu di kalahkan oleh kebudayaan dan kesenian kapitalis.
NU dengan mempertimbangkan historisitas Lesbumi sudah pasti memiliki basis massa pelaku yang terdiri dari seniman dan budayawan. Oleh sebab itu, NU seharusnya mempunyai perhatian khusus pada dunia seni dan budaya serta menjawab persoalan-persoalan yang dihadapi oleh para seniman dan budayawan tersebut.
Penegasan  ini berarti menempatkan warga NU untuk bergumul dengan keprihatinan-keprihatinan yang dihadapi oleh seniman dan budayawan sekaligus mencari jawab atasnya. Konsekuensinya adalah NU harus memperkaya Bahtsul Masa’il terkait dengan kesenian yang dapat memberikan jawaban atas persoalan-persoalan itu.

3.    Majlis Tarjih Muhammadiyah dan Kesenian

Hubungan yang dibangun antara Muhammadiyah dan kesenian sejalan dengan pola hubu¬ngan antara agama dengan kesenian. Hal ini karena Muhamma-diyah merupakan organisasi sosial dakwah yang menjalankan visi serta misi keagamaan.
Berkaitan dengan relasi agama dan kesenian, ada dua penda¬pat, pertama, antara agama dan kesenian ada relasi yang sangat erat. Dari pendapat ini, ada dua pandangan yang menyatakan bah¬wa kesenian yang merupakan produk dari kebudayaan adalah bagian dari agama. Jadi bukanlah agama dalam pengertian ajaran-ajaran, doktrin-doktrin dan ketentuan ketuhanan. Dari klarifikasi inilah dimungkinkan dialektika antara agama dan seni dapat terjadi.
Pendapat  Kedua, adalah pen¬dapat yang sangat bertolak belakang dengan pendapat pertama. Penda¬pat ini menyatakan bahwa agama dan kesenian tidak memiliki hubungan sama sekali. Keduannya terpisah satu sama lain dan tidak ada sifat saling mempengaruhi. Pada umumnya, pendapat yang diikuti untuk mensikapi kesenian dalam kaitannya dengan agama adalah pendapat yang kedua.
Pada pendapat kedua, agama diposisikan sebagai sesuatu hal yang bersifat sakral dan transenden. Agama hanya mengurusi masalah¬-masalah yang bersifat ukhrawi dan  tidak dapat disentuh dengan hal yang bersifat ke-dunia-an termasuk kesenian. Sebagai akibat dari itu semua, organisasi keagamaan yang merupakan perpanjangan tangan dari agama juga dianggap sebagai sesuatu yang stabil, statis, dan tidak dapat bersinggungan dengan dunia luar.
Majlis Tarjih Muhammadiyah menilai budaya dan seni keagamaan seperti kenduri, shalawatan, dan sebagainya termasuk dalam lingkup TBC, dan keberadaannya harus diberantas. Akan tetapi, cara yang dilakukan Muhammadiyah kurang tepat, seperti dengan mengatakan kafir, bid’ah, dan haram, sehingga masyarakat tidak mau menerima. Cara-cara yang tidak tepat inilah yang menimbulkan ketegangan sosial, dan bahkan sampai menimbulkan disintegrasi sosial.
Dengan alasan untuk menjaga identitas perjuangannya, yaitu pemurniaan Islam, Muham¬madiyah seakan-akan hanya berka¬iatan dengan urusan agama saja. Dalam konteks ini Muhammadiyah lebih ditafsiri sebagai gerakan fundamentalis yang selalu menjus¬tifikasi setiap kesenian dengan paradigma TBC-nya. Sehingga Muhammadiyah tidak segan-segan mengatakan haram, bid’ah, syirik, takhayul dan khurafat kepada setiap bentuk kesenian yang berkem¬bang. Hal inilah yang mungkin menjadi alasan yang menjadikan Muhammadiyah jauh dari kesenian.
Persepsi di atas berdampak ne¬gatif bagi pengembangan dakwah Muhammadiyah, sehingga Mu¬hammadiyah sering dianggap sebagai gerakan keagamaan yang anti terhadap kesenian. Muhammadiyah harus mene¬gaskan diri bahwa Muham¬madiyah adalah organisasi keagamaan yang bersifat dina¬mis. Dinamisme Muhamma¬diyah harus merupakan refleksi dari adaptasi, akomodasi dan inovasi dari segala realitas yang terjadi dalam masyarakat. Sikap dan kemauan untuk mempertim¬bangkan realitas sosial, budaya, politik, ekonomi dan struktur¬struktur lainnya di luar keya¬kinan dan organisasi keaga¬maan merupakan sebuah kenis¬cayaan yang tidak dapat diaba¬ikan.
Pembentukan majlis tarjih pada tahun 1972 merupakan manifestasi cita-cita untuk menunaikan Islam secara murni, dan dengan berdirinya majlis tarjih, Muhammadiyah  sebagai gerakan Islam bercorak tajdid telah memiliki wadah khusus yang berkompeten untuk membicarakan, merumuskan serta memberi pertimbangan terhadap berbagai persoalan yang dihadapi, khususnya dalam rangka memelihara umat dari kebingungan dan perselisihan karena perbedaan pendapat dan fanatisme. Kata majlis berarti dewan atau lembaga yang memiliki anggota. Sedangkan pemaknaan tarjih menurut Muhammadiyah adalah bermusyawarah bersama tokoh-tokoh ahli untuk meneliti, membandingkan, menimbang dan memilih dari segala masalah yang diperselisihkan guna mendapatkan alasan yang lebih kuat, lebih mendasar, lebih besar dan lebih dekat dengan sumber utama.

4.    Analisis Kesenian dalam Muhammadiyah

Konsep kembali kepada al- Qur’an dan al-Sunnah (al-Ruju’ Ila al-Qur’an wa al-Sunnah) dan slogan TBC seakan mencitrakan Muhammadiyah sebagai organisasi puritan yang anti-budaya. Padahal jika dicermati, sebenarnya Muhammadiyah juga mempunyai konsep budaya yang didefinisikan meliputi sistem pengetahuan, pendidikan, dan penggunaan waktu luang, yang lebih berorientasi kepada kemajuan dan kreatifitas bangsa ke depan. Menyadari hal ini, Muhammadiyah mulai berbenah diri untuk mengembangkan konseptualisasi tentang budaya khususnya kesenian.
Metode dakwah kultural merupakan salah satu strategi kebudayaan yang dilakukan oleh Muhammadiyah, dengan menyatukan dimensi ajaran al-Qur’an dan al- Sunnah dengan dimensi Ijtihad dan Tajdid sosial keagamaan. Dengan ciri khas mengelaborasi  antara sisi normativitas al-Qur’an dan al- Sunnah dengan historisitas pemahamannya pada wilayah kesejarahan tertentu.
Pengembangan pemikiran keis¬laman dalam hal kesenian terus berlangsung, sehinggga pada Mukt¬amar ke-44 di Jakarta tahun 2000 ditetapkan pedoman bagi warga Muhammadiyah dalam menjalani kehidupan di bidang sosial budaya terkait dengan hal ini adalah kesenian. Pedoman ini yang kemudian dibukukan dalan buku Pedoman Hidup Islami Warga Muhamma¬diyah. Pedoman ini merupakan pengembangan dari hasil keputusan Munas Tarjih XXIII di Aceh. Di¬dalamnya mencakup beberapa pandangan Muhammadiyah tentang kebudayaan, lebih khusus lagi pandangan Muhammadiyah tentang kesenian yang merupakan subkultur dari kebudayaan.
Persoalan seni rupa yang men¬jadi perdebatan panjang dalam khasanah pemikiran Islam, oleh Muhammadiyah dihukumi mubah bila untuk kepentingan pengajaran, ilmu pengetahuan dan sejarah serta menjadi haram bila mengandung unsur yang membawa ‘lshyan (kedurhakaan) dan kemusyrikan. Dalam permasalahan seni rupa Muhammadiyah memandang masalah ini dapat dikategorikan sebagai masalah hukum yang ma’qulul ma’na. 
Demikan hal nya, pada seni suara, menurut Muham¬madiyah seni suara baik pada dasarnya mubah (boleh) serta men¬jadi terlarang jika seni dan ekspresi¬nya dalam perwujudan tersebut menjurus pada pelanggaran norma-¬norma agama. Sedangkan pada seni sastra, Muhammadiyah bahkan menganjurkan untuk mengembang¬kannya sebagai bagian dari strategi peradaban dan kebudayaan kesenian muslim. Akan tetapi dalam hal seni tari Muhammadiyah belum dapat memberi defenisi yang jelas, karena hal ini masih menjadi perdebatan di kalangan ulama. Sehingga dalam buku Pedoman Hidup Islami Warga Muhammadiyah persoalan seni tari tidak disinggung.
Muhammadiyah sebenarnya simbol dari adanya kebudayaan (kesenian).  Karena Muham¬madiyah lahir dari kreasi ide dari K. H. Ahmad Dahlan yang mewujud ke dalam bentuk¬-bentuk empirik seperti adanya sekolah, rumah sakit, panti asuhan, panti jompo dan amal usaha lain. Bentuk empirik ini, kemudian melahirkan adanya interkasi sosial di masyarakat. Dari sini dapat dilihat, Muham-madiyah mempunyai wujud kebudayaan, yaitu wujud ide, sistem sosial dan kebudayaan fisik. Jadi, tidak ada alasan yang mengatakan bahwa Muham¬madiyah tidak mempunyai hubungan sama sekali dengan kesenian.
Kondisi  kesenian  tertentu menjadi menentukan wajah kesenian. Ada kondisi kesenian yang mampu men¬cerminkan kondisi ahsanu taq¬wim manusia dan ada juga yang kesenian yang sudah jatuh dan mencerminkan kondisi asfala safilin.
Dari klarifikasi dan redefinisi kesenian ini, kemudian mela¬hirkan konsep-konsep baru tentang kesenian dalam diri Muham¬madiyah. Muhammadiyah dengan berpegang pada ketauhidan mulai bersikap toleran dengan tradisi kesenian. Hal ini terlihat dari beberapa keputusan Muhamma¬diyah tentang kebudayaan. Seperti pada keputusan Munas Tarjih XXIII di Aceh, disebutkan ;
1.    Islam adalah agama ftrah, yaitu agama yang berisi ajaran yang tidak bertentangan dengan fitrah manusia, Islam bahkan menyalurkan, mengatur, dan mengarahkan fitrah manusia itu untuk kemuliaan dan kehormatan manusia sebagai makhluq Allah.
2.    Rasa seni sebagai penjelmaan rasa keindahan dalam diri manusia merupakan salah satu fitrah yang dianugerahkan Allah SWT yang harus dipelihara dan disalurkan dengan baik dan benar sesuai dengan jiwa ajaran Islam.
3.    Berdasarkan keputusan Munas Tarjih ke-22 tahun 1995 bahwa karya seni hukumnya mubah (boleh) selama tidak mengarah atau mengakibatkan fasad (kerusakan), dlarar (bahaya), isyyan (kedurhakaan), dan ba'id `anillah (terjauhkan dari Allah); maka pengembangan kehidupan seni dan budaya di kalangan Muhammadiyah harus sejalan dengan etika atau norma-norma Islam sebagaimana dituntunkan Tarjih tersebut.
4.    Seni rupa yang objeknya makhluq bemyawa seperti patung hukumnya mubah bila untuk kepentingan sarana pengajaran, ilmu pengetahuan, dan sejarah; serta menjadi haram bila mengandung unsur yang membawa `isyyan (kedurhakaan) dan kemusyrikan.
5.    Seni suara baik seni vokal maupun instrumental, seni sastra, dan seni pertunjukan pada dasarnya mubah (boleh) serta menjadi terlarang manakala seni dan ekspresinya baik dalam wujud penandaan tekstual maupun visual tersebut menjurus pada pelanggaran norma-norma agama.
6.    Setiap warga Muhammadiyah baik dalam menciptakan maupun menikmati seni dan budaya selain dapat menumbuhkan perasaan halus dan keindahan juga menjadikan seni dan budaya sebagai sarana mendekatkan diri kepada Allah dan sebagai media atau sarana da'wah untuk membangun kehidupan yang berkeadaban.
7.    Menghidupkan sastra Islam sebagai bagian dari strategi membangun peradaban dan kebudayaan muslim.

Hasil Munas Tarjih XXIII ini, menjadi pijakan Muhammadiyah untuk malakukan pengembangan di bidang sosial budaya, termasuk dalam hal metodologi pemikiran keislaman. Sehingga pada Munas Tarjih XXV yang diselenggarakan di Jakarta tahun 2000, ditetapkan metodologi pemikiran keislaman baru, yang meliputi pendekatan burhani, ‘irfani dan bayani. Dengan mengelaborasikan sisi normativitas dan historisitas pemahaman pada wilayah tertentu, metodologi ini mampu memberi alternatif solusi dari permasalahan-permasalahan kontemporer termasuk kesenian.
Klarifkasi dan redefenisi kesenian tersebut, tidak terlepas dari iden¬titas Muhammadiyah sebagai gera¬kan tajdid. Gerakan tajdid disini meliputi dua aspek sekaligus yaitu pemurnian dan pembaharuan. Muhammadiyah melakukan pem-baharuan pemikiran dalam bidang kesenian tanpa meninggalkan prinsip-prinsip ketauhidan yang menjadi inti dari pola gerakan pemurnian.

B.  Persamaan dan Perbedaan dalam Bahtsul Masa’il NU dan Majlis Tarjih Muhammadiyah tentang Kesenian

1.    Persamaan

Adapun persamaan dalam Bahtsul Masa’il NU dan Majlis Tarjih Muhammadiyah tentang kesenian antara lain Mengenai hal-hal yang tidak ada keterangan hukumnya (dalil yang jelas dan pasti) dalam permasalahan kesenian, baik Bahsul Masa’il NU dan Majlis Tarjih Muhammadiyah melakukan upaya  Istinbath dengan kontruksi fatwanya berdasarkan pada al-Qur’an dan Hadits dan Tujuan utama dari istinbath hukum Bahtsul Masa’il NU dan Majlis Tarjih Muhammadiyah dalam kesenian yaitu kemaslahatan Umat.


2.    Perbedaan

Adapun perbedaan dalam Bahtsul Masa’il NU dan Majlis Tarjih Muhammadiyah tentang kesenian antara lain :
a.    Dalam menyikapi kesenian, NU mengutip sumber fatwa dari kitab-kitab yang menjadi rujukan, dengan menetapkan apa yang sudah ada, Hal ini terlihat dari beberapa keputusan NU tentang kebudayaan khususnya kesenian yang bersifat akomodatif, sementara Muhammadiyah dalam menyikapi kesenian lebih bersikap moderat.
b.    Berdasarkan catatan keputusan Bahstul Masa’i pada Muktamar NU ke-30 di Lirboyo Jawa Timur (1999) Butir penting keputusan Muktamar itu adalah mengajak seluruh anggota NU agar mengembalikan ruh kebudayaan sebagai medium beragama dan bersosial, sedangkan Muhammadiyah dengan berpegang pada ketauhidan bersikap toleran dengan tradisi kesenian. Seperti pada keputusan Muktamar Muhammadiyah ke-44 tahun 2002 di Jakarta yang sekarang telah dicantumkan dalam PHIWM (Pedoman Hidup Islami Warga Muhammadiyah.

-------------------------------------------------------------------------------------------------------
catatan kaki
   Sidi Gazalba, Pandangan Islam Tentang Kesenian, (Jakarta: Bulan Bintang, 1977), hlm. 20.

   Yang di maksud dengan masalah-masalah waqiyyah : masalah-masalah yang terjadi kehidupan sekarang atau masalah kontemporer.

   Sahal Mahfudl, Nuansa Fiqih Sosial..., hlm. 27.

   Lihat pada bab II ps 3 AD NU.

   Khotib sholeh, Menyoal Efektifitas Bahsul Masa’il, dalam Kritik Nalar fIqih HU..., hlm. 213.

   Dalam kepengurusannya NU terdiridari mustasyar (pembina, penasehat, dan pembimbing kegiatan NU), syuriah, dan tanfidzi (pelaksana sehari-hari kegiatan NU). Lihat AD ART NU pas 8 tentang kepengurusan. Lihat juga Cinar Sitopmpul, NU dan Pancasila, cet. I (Jakarta : Pustaka Sinar Harapan, 1989), hlm. 227. Dan lihat juga pengurus wilayah Maarif NU DIY, ke-NU-an, (Yogyakarta : Maarif NU, 1980), III : I.

  Manhaj yakni menelusuri dan mengikuti metode istinbath hukum.
 Sikap Kebudayaan ini Diputuskan pada Muktamar Kebudayaan NU I di Pesantren Kaliopak, Piyungan, Yogyakarta, pada Senin,1 Februari 2010, pukul 22.39 wib. kemudian dibahas kembali  dalam Rapat Kerja Lesbumi di Jakarta Tanggal 26 Agustus 2010 untuk ditetapkan menjadi sikap kemudayaan  LESBUMI NU.
   Lesbumi merupakan lembaga Seni- Budaya yang di usung NU pada tahun 1950-1960an.
 Menurut al-Zastrow Agama dewasa ini, terjebak dalam ritualisme, simbolisme dan formalisme. Dimensi-dimensi kebudayaan dan kesenian sebagai pilar dari sikap kemanusiaan yang sebetulnya tak dapat dipisahkan dari agama itu hilang. Agama berjalan mengisi kemanusiaan tanpa ada sentuhan-sentuhan budaya sehingga terkesan kering, keras, dan kaku.

   M. Thoyibi, Sinergi Agama dan Budaya Lokal: Dialektika Muhammadiyah dan Seni Lokal. (Surakarta : MUP-UMS), hlm.198.

  Syafudin Zuhri, Ahkam al-Fuqaha ..., hlm. 101.
  mengelaborasi yaitu kemampuan untuk mengembangkan, merinci, dan memperkaya suatu gagasan.
  Ma’qulul ma’na, yaitu masalah hukum syar’i yang logika hukum¬nya dapat dipahami sebagai pena¬laran rasional.

   Abdul, Munir Mulkan, Pemikiran....,hlm. 107.

   Suara Muhammadiyah, Strategi Kebudayaan Muhammadiyah, 1-15 Februari 2006, hlm. 6.

   Pedoman Hidup Islami Warga Muhammadiyah. hlm, 92.

Silahkan Gunakan Facebook Comment, Jika Anda Tidak Memiliki Url Blog!

Comments for blogger! brought to you by RESOUL THE ART CENTRE , Ingin Tahu Info Kursus Recording dan Rental Studio? KLIK DISINI!?

0 komentar:

Posting Komentar

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Bluehost